Menurut cerita, negara Republik pertama dinegeri kita ini namanya bukan Republik Indonesia, melainkan Republik Lan Fang. Republik Lan Fang ini berlokasi di daerah Pontianak, kalimantan Barat yang berdiri sekitar tahun 1777.
Dalam sistem pemerintahannya Republik Lan Fang menggunakan sistem demokratis. Sebenarnya negeri Lan Fang ini tidak berbentuk Republik secara resmi, tetapi karena sistem pemerintahaannya yang bersifat demokratis dibandingkan kongsi-kongsi lainnya yang bergaya feodal, maka secara tidak langsung Lan Fang pun mendapat julukan "republik." Diberi tanda kutip karena secara de facto, tidak ada pengakuan internasional kepada republik ini.
Negeri kongsi Lan Fang memiliki pemerintahan resmi, penduduk dan wilayah yang sah, juga memiliki sistem perekonomian, perbankan, dan hukum sendiri. Negeri ini pernah dipimpin oleh 10 orang pemimpin (Jendral) yang dipilih secara demokratis lewat pemilihan umum. Penduduknya memiliki kedudukan yang sama dalam hukum, bahkan termasuk para pemimpinnya. Republik ini mampu bertahan hidup selama 107 tahun.
Sekitar tahun 1770an, Kalimantan barat dibanjiri pendatang dari China daratan yang mengadu untung menjadi pedagang dan penambang. Saat itu puluhan ribu orang Tionghoa berburu emas sampai ke Kalimantan Barat. Para pendatang ini kemudian membentuk kongsi-kongsi dagang resmi yang menjamin keuntungan mereka. Biasanya sesuai dengan wilayah dan etnis asal mereka.
Lan Fang berawal dari sebuah perkumpulan atau kongsi pertambangan dari etnis Hakka yang datang dari Cina daratan. Dengan uang yang diperoleh dari iuran para penambang dan pedagang di wilayah tersebut, kongsi itu lalu berhasil memperoleh wilayah otonomi yang disetujui oleh Kesultanan Sambas dan Mempawah di Kalimantan Barat. Kongsi ini harus membayar upeti tertentu kepada kedua kerajaan itu, tapi mereka bisa mengurus wilayah tersebut secara otonom. Semacam menyewa wilayah.
Saat wilayah itu semakin berkembang, kongsi itupun merasa membutuhkan sebuah institusi pengatur dan pemerintahan. Berdirilah negeri Lan Fang pada tahun 1977 sebagai sebuah wilayah berdaulat. Sistem pemerintahannya relatif demokratis. Pilihan itu yang dianggap paling sesuai, karena secara historis mereka masih sangat terikat pada budaya China, dimana yang boleh menjadi pimpinan tertinggi adalah sang Kaisar titisan dewa.
Di negeri Lan Fang, kedudukan mereka seimbang. Semua penduduk adalah perantau dari China. Maka pemilihan pemimpin pun dilakukan dengan kesepakatan atau pemungutan suara.
Jangan disangka negeri Lan Fang itu hanya terdiri dari orang China. Pada awal kedatangan di Kalimantan Barat, hanya kaum pria yang diijinkan tinggal dan menambang emas disana. Akibatnya dalam waktu singkat terjadi perkawinan campur dengan wanita asli Kalimantan barat, maupun pendatang lain. Penghuni negeri Lan Fang saat itu, benar-benar bhineka tunggal ika.
Bendera Republik Lan Fang berbentuk persegi panjang berwarna kuning dengan tulisan “Lan Fang Ta Tong Chi”. Presiden disebut sebagai “Chuao” (Jenderal). Pejabat tingginya berpakaian ala Tiongkok kuno, sedangkan yang berpangkat lebih rendah mengenakan pakaian ala barat.
Sosok yang dianggap pendiri negeri ini adalah seorang guru yang bernama Lo Fang Pak (atau dalam ejaan yang berbeda menjadi Lo FanBo). Ia menjadi pencetus sekaligus Jendral pertama negeri Lan Fang. Tokoh ini dianggap sangat berpengaruh dan punya visi kenegaraan luar biasa.
Lo FanBo lahir tahun 1738 di Kwangtung, pada tahun ke 3 dinasti Ching saat raja Chien Long berkuasa. Setelah lulus ujian negara, ia memutuskan untuk mengembara mengembangkan ilmunya. Saat itu hanya cendekiawan atau sastrawan terhebat yang bisa lulus dalam ujian yang diadakan pemerintah.
Lo Fang Bo mulai berpetualang pada usia 30an. Sebenarnya ia pernah mempunyai anak dari perkawinannya. Namun tradisi Hakka tidak memperkenankan membawa isteri keluar negeri. Ia merantau ke Kalimantan Barat karena banyak orang etnis Hakka mencari emas di daerah itu. Umumnya mereka datang lewat daerah Shantao,lalu masuk ke pesisir Vietnam baru akhirnya berlabuh di Kalimantan barat.
Pada tahun 1770 orang-orang Tionghoa di Kalimantan Barat telah mencapai 20.000 orang. Mereka berdatangan didasarkan pertalian saudara atau sesama clan. Lan Fan Bo pun ikut masuk ke dalam kongsi etnis Hakka, dan karena kecerdasannya, ia segera menjadi ketua.
Lo Fang Bo kemudian mendirikan Lan Fang Kongsi, menyatukan semua etnis Hakka di daerah yang dinamakan San Shin Cing Fu (danau gunung berhati emas) yang kemudian menjadi wilayah negeri Lan Fang. Pusat kotanya sekaligus markas besar kongsi ini disebut kota Mem-Tau-Er. Negeri Lan Fang pun lahir tahun 1777.
Negeri Lan Fang memiliki kitab undang-undang hukum, sistem pendidikan pertanian dan pertambangan. Mereka memiliki system ekonomi yang berlandaskan iuran wajib sesuai pekerjaan, sangat mirip dengan pajak. Bahkan ada juga system simpan pinjam perbankan. Kongsi Lan Fong sendiri setiap tahun membayar upeti pada Dinasti Qing. Dalam tarikh di Dinasti Qing mencatat sebuah tempat dimana orang Ka Yin bekerja sebagai penambang, membangun jalan, mendirikan negaranya sendiri dan setiap tahun kapalnya mendarat di daerah Zhou dan Tauciu untuk berdagang. Catatan tersebut dianggap bukti keberadaan negeri kongsi Lan Fang.
Pemimpin Lan Fang dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum. Kisah itu ada di dalam tulisan Yap Siong Yoen, anak tiri pemimpin kongsi Lan Fang terakhir. Akibat tulisan J.J. Groot, seorang sejarawan Belanda mengenai Kongsi Lan Fang, muncul sebutan Republik Lan Fang. Hakikatnya yang disebut Republik Lan Fang adalah sebuah negeri yang berbasiskan kongsi dagang Lan Fang. Kenyataannya, syarat terbentuknya republik telah terpenuhi. Tak cuma punya rakyat dan wilayah, Kongsi ini juga mengadakan pemilihan umum untuk memilih pemimpinnya.
Negeri Lan Fang sangat disegani karena kemampuannya mengusir buaya di muara Kapuas. Perlahan tapi pasti, walau masih membayar upeti ke kesultanan local, negeri Lan Fang membentuk tenaga keamanan sendiri yang semakin lama semakin kuat. Bahkan saat terjadi bentrokan antara Sultan Kun Tien melawan Kesultanan Mempawah dan kelompok Dayak, negeri Lan Fang bisa memberikan bantuan berharga.
Yang disebut Sultan Kun Tien sebenarnya adalah Syarif Abdurrahman Al Qadri tetua Kampung Pontianak. Tahun 1778, Syarif Abdurrahman Al Qadri menjadi Sultan Pertama dari Kesultanan Pontianak yang asalnya adalah Kampung Pontianak di Muara Sungai Landak.
Pada tahun 1789, Sultan Pontianak atau disebut Sultan Kun Tien, dengan dukungan Belanda menyerang kekuasaan Panembahan Mempawah untuk merebut wilayahnya. Negeri Lan Fang kemudian juga mengirimkan pasukannya membantu pasukan Sultan Pontianak. Panembahan Mempawah kalah dan sang raja mengundurkan diri ke daerah Karangan. Sebagai balas jasa, oleh Sultan Pontianak, kongsi Lan Fang diberi otonomi khusus pada tahun 1793. Sejak itu seluruh orang Tionghoa di Kalimantan Barat berlindung pada Republik Lan Fang. Dua tahun setelah itu, Lan Fang Bo wafat.
Tanah dan pertambangan yang dikuasai kongsi ini memang sangat berharga. Tak heran Belanda tertarik memilikinya. Republik Lan Fang akhirnya ditaklukkan Belanda tahun 1884, namun karena khawatir pembalasan dari Dinasti Qing yang berkuasa di Cina, penaklukan itu baru diumumkan 27 tahun kemudian saat China juga berubah menjadi republik. Selama itu, Belanda mengijinkan adanya pemimpin boneka di kongsi negeri Lan Fang itu.
Namun kisah negeri ini belum berakhir begitu saja. Kisah sejarah Republik Lan Fang sudah mulai dirapikan oleh berbagai pihak. Berbagai pameran tentang Kongsi Unik yang mampu membuat negaranya bertahan selama 107 tahun ini telah masuk menjadi agenda rutin Singapore Art Fest. Mulai dari peninggalan sejarah, uang, lukisan-lukisan dan foto zaman dahulu. Ironis memang, semua itu dilakukan oleh warga negara Singapura, bukan Indonesia sebagai pemilik sejarah.
Saat negeri Lan Fang ditaklukkan Belanda, banyak penduduk dan pemimpinnya yang melarikan diri ke Singapura. Disana mereka juga membentuk masyarakat, mengadopsi peraturan dan tata tertib kongsi Lan Fang yang sudah teruji baik. Cukup banyak keturunan dari kongsi Lan Fang ini yang kemudian menetap dan beranak pinak di Singapura. Salah satu keturunannya adalah mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew, “sang diktator” negeri liliput Singapura itu.