Es Kutub Mencair, Indonesia Terancam Tenggelam

Es Kutub Mencair, Indonesia Terancam Tenggelam
Kutub Es
Apakah anda tahu, apa yang akan terjadi bila semua es di kutub itu mencair? Es di kutub utara dan selatan mencakup 10 persen dari permukaan bumi. Jumlah es diperkirakan mencapai 5 miliar kubik. Jadi, bila es di kutub mencair maka permukaan air laut akan naik dan tentu saja hal tersebut akan berdampak pada Indonesia. Lebih dari 17.000 pulau di negeri kita ini terancam tenggelam. 

Fenomena global seperti perubahan iklim, akan membuat udara semakin panas. Hal itu akan berimbas pada Kutub Utara dan es di daerah tersebut bisa ikut mencair.

National Geographic membuat sebuah peta interaktif. Peta memperlihatkan bahwa ketika seluruh es mencair, permukaan laut akan semakin tinggi, banyak daratan hilang, pegunungan jadi pulau, dan manusia bakal merugi.
 
Di peta wilayah Asia, bisa dilihat dampak mencairnya es kutub pada Indonesia. Terlihat, garis pantai lebih menjorok ke dalam. Artinya, daratan Indonesia akan berkurang secara signifikan dan berubah menjadi lautan.

Dapat dilihat pula, wilayah laut Indonesia menjadi lebih "bersih". Artinya, banyak pulau-pulau di Indonesia yang akan hilang tenggelam. Wilayah Kalimantan sendiri akan kehilangan banyak daratan, membuat Indonesia kehilangan banyak wilayah hutan.

Dampak yang bisa dibayangkan, banyak spesies eksotik di Indonesia, seperti harimau sumatera, orangutan sumatera dan Kalimantan, serta banyak lagi, akan terganggu. Banyak masyarakat adat yang bergantung pada hutan akan semakin sulit untuk hidup.

Peta juga memperkirakan apa yang akan terjadi pada wilayah Asia lain. Delta Sungai Mekong akan tergenang. Dampaknya, wilayah China, India, dan Banglades akan banjir. Sebanyak 760 juta populasi, berdasarkan hitungan saat ini, akan dirugikan.

Di wilayah Eropa, diperlihatkan bahwa dengan mencairnya seluruh es, London hanya akan menjadi kenangan. Begitu juga dengan Venesia, Belanda, dan Denmark. Di Amerika Utara, dampaknya ialah wilayah San Francisco yang akan menjadi kluster pulau.

Ilmuwan memperkirakan, mungkin butuh waktu lebih dari 5.000 tahun bagi semua es untuk mencair. Namun, bila manusia terus memakai bahan bakar fosil dan beraktivitas seperti biasa hingga menambahkan triliunan ton karbon ke atmosfer, Bumi akan makin panas dan es mencair lebih cepat.

Bumi terakhir mengalami masa yang sangat panas dan bebas es pada 34 juta tahun lalu, zaman Eocene. Jika gas rumah kaca di atmosfer terus bertambah, bukan tidak mungkin masa itu terulang kembali.

Untuk wilayah Antartika Barat saja, sejak tahun 1992, es sudah mencair. Laporan National Geographic menyatakan bahwa jumlah es yang mencair sekitar 65 juta metrik ton. Es di Greenland juga dilaporkan mencair secara signifikan.


Ilustrasi London yang tenggelam
Ilustrasi London yang tenggelam
Jika manusia terus menambahkan jumlah karbon ke atmosfer bisa jadi kelak es akan hilang dari permukaan planet Bumi, bahkan suhu rata-rata planet Bumi akan meningkat dari 14,4 derajat Celcius menjadi 26,67 derajat Celcius atau naik hampir dua kali lipat!

Berikut adalah peta keadaan dunia setelah seluruh es mencair:



AFRIKA 
AFRIKA
 Benua Afrika hanya mengalami sedikit perubahan. Namun beberapa kota akan tenggelam seluruhnya seperti kota Dakar dan kota Bissau. Melihat jauh ke Utara kita akan melihat beberapa kota di Timur Tengah ikut tenggelam seperti Baghdad, Alexandria, Kuwait, dan Dubai

ASIA
ASIA
 Beberapa kota besar seperti Jakarta, Singapura, Bangkok, Tokyo dan Seoul akan tenggelam. Bentuk pulau Sumatra dan Kalimantan pun tidak akan seperti dulu lagi. Kemudian lebih dari 600 juta orang di China akan kehilangan tempat tinggalnya dan yang paling parah Negara Bangladesh akan benar-benar terhapus dari peta.

AUSTRALIA
AUSTRALIA
 Tidak begitu banyak perubahan di benua Australia kecuali munculnya sebuah teluk baru yang menjorok hingga mencapai ke tengah-tengah benua kangguru itu.

EROPA
EROPA
London tinggal kenangan. Venice dicaplok laut Adriatik. Copenhagen, Stockholm, dan Helsinki tenggelam. Bahkan seluruh negara Belanda akan tinggal menjadi sejarah. 

AMERIKA UTARA
AMERIKA UTARA
Pesisir Timur Amerika akan mengalami dampak yang lebih parah daripada Pesisir Barat Amerika. Bila di Pesisir Barat negara bagian California akan menjadi “kepulauan” maka di Pesisi Timur akan ada banyak kota yang tenggelam seperti New York, Miami, Tampa, dan Boston. Bahkan ibukota Amerika Serikat, Washington D.C., pun sebagian besar akan tenggelam.

AMERIKA SELATAN
AMERIKA SELATAN
 Sungai Amazon akan melebar sehingga seolah-olah membelah negara Brazil. Buenos Aires akan tenggelam, sebagian Paraguay juga akan tenggelam. Hanya kota-kota di pesisir Barat lah yang lebih beruntung karena terletak di dataran tinggi.

ANTARTIKA
ANTARTIKA
Kita akan melihat dataran di Antartika untuk pertama kalinya. Antartika bagian Timur memiliki lebih banyak daratan daripada Antartika bagian Barat. Sejatinya Antartika bagian Timur memiliki lapisan es yang paling tebal sehingga mungkin disinilah letak es paling akhir di dunia sebelum seluruhnya mencair

Untuk mengatasi dan mengetahui dampak tersebut, diadakanlah Konferensi Internasional tentang Aplikasi Teknologi Antariksa untuk Perubahan Iklim (United Nations/Indonesia International Conference on Integrated Space Technology Applications to Climate Change). 

Konferensi yang diselenggarakan oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) dan Badan PBB yang mengurusi keantariksaan (United Nations Office for Outer Space Affairs/UNOOSA) ini, diikuti oleh 30 negara-negara PBB, dan berlangsung 2-4 September di Hotel Borobudur, Jakarta. 

Pada konferensi ini akan hadir para pakar bidang teknologi antariksa dan perubahan iklim dari berbagai negara. 

Juan Carlos Villagran dari UNOOSA, membenarkan jika Indonesia paling berdampak pada perubahan iklim. Pulau-pulau yang dimiliki Indonesia bisa terancam. Meski Indonesia memiliki teknologi antariksa, tetap butuh dukungan dari negara lain. 

"Kita bisa belajar, berdiskusi mengenai cara mengantisipasi dampak perubahan iklim dengan menggunakan teknologi antariksa, khususnya teknologi penginderaan jauh. Apalagi kita belum punya satelit khusus untuk meteorologi.

Karenanya perlu kerjasama dengan negara-negara maju," kata Orbita Roswintiarti, Kepala Pusat Teknologi Penginderaan Jauh Lapan. 

Bambang Tejasukmana, Kepala Lapan, menambahkan peran teknologi antariksa sangat penting dalam mengobservasi variabel-variabel perubahan iklim. Di antaranya kenaikan muka air laut, tren deforestasi atau emisi karbon, dan parameter lainnya yang sulit dilakukan dengan pengamatan langsung. 

"Teknologi antariksa akan menempatkan berbagai satelit untuk memantau. Bidang Pertanian memang yang paling berpengaruh karena sangat sensitif dan tergantung pada cuaca," ujarnya. 

Dia menuturkan dari konferensi ini diharapkan semuanya mendapatkan ilmu-ilmu baru, terkait dengan antisipasi perubahan iklim. 


LihatTutupKomentar